Belajar dari Mantan TKI
Trisno Yuwono adalah seorang mantan TKI yang saat ini sukses menjadi Bos Swalayan.
Pak Trisno lahir di Blitar, 12 Agustus 1970. Beliau dahulu bekerja
sebagai supir di Arab, kini sukses membangun wirausaha.
Biografi Trisno Yuwono, Mantan TKI jadi milioner
Pengalaman bisa ditimba dari mana saja. Asal ada tekad,dan perjuangan
membuahkan hasil.dan ini yang saat ini dialami Trisno Yuwono.
Mengawali usia produktifnya sebagai TKI, ia sukses mengembangkan Sari-Sari Swalayan di Blitar.
Di
tengah dominasi jaringan minimarket yang berkembang dengan sistem
waralaba, masih ada pengusaha di daerah yang bisa bersaing. Salah
satunya adalah Sari-Sari Swalayan di Blitar. Tujuh gerai milik nya itu tetap bisa bertahan dan berkembang dengan omzet total mencapai miliaran rupiah per tahun.
Sejak
memulai bisnis ini pada tahun 2000 hingga sekarang, Trisno sudah
memiliki tujuh gerai Sari-Sari Swalayan yang tersebar di daerah Blitar
dan Tulungagung, Jawa Timur. “Satu gerai bisa menghasilkan omzet lebih
dari Rp 10 juta per hari,” ujar Trisno. Alhasil, ketujuh swalayannya
mampu mencatatkan omzet hingga Rp 35 miliar per tahun.
Sebenarnya, menjadi pengusaha eceran bukanlah cita cita
Trisno. Pendidikan terakhir suami Eva Karisma Dewi ini adalah Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Blitar, Jawa Timur. “Cuma
sebentar kuliah. Saya pikir kalau lulus cuma menjadi guru. Saya memilih
keluar tanpa tahu mau bekerja apa,” ujar lelaki berkepala plontos ini.
Peristiwa
meletusnya Gunung Kelud yang terjadi pada 1991 mendorong Trisno mencari
penghidupan yang lebih baik di kota lain. Targetnya bukan ke Jakarta
atau kota besar di Indonesia, ia memilih menjadi tenaga kerja Indonesia
(TKI) di Arab Saudi. “Waktu itu, ada tetangga yang menjadi TKW di Arab
pulang. Saya tanya dia bagaimana prosesnya bisa bekerja di Arab,”
kenangnya.
Trisno berharap dengan menjadi tenaga kerja di luar negeri, penghidupannya bisa lebih
baik ketimbang menjadi seorang guru. “Pada tahun 1991, di Blitar belum
banyak yang menjadi TKI. Saat itu saya nekat saja, mencoba-coba,” ujar
bapak tiga anak ini.
Kala itu Trisno berstatus pengangguran. Ia
nekat pergi ke Surabaya untuk melamar menjadi TKI. “Menurut teman saya,
penyalurnya ada di Surabaya,” katanya. Berbekal uang Rp 1,5 juta hasil
menjual sepeda motor, ia tidak kesulitan membiayai segala urusan
administrasi di perusahaan penyalur TKI tersebut.
Sembari menunggu
pengiriman, selama dua bulan Trisno berada di penampungan TKI di
Jakarta, tanpa ada pembekalan keterampilan. “Kerjanya cuma makan dan
tidur,” katanya. Alhasil, ketika dikirim ke Arab Saudi, dia tidak bisa
berkomunikasi menggunakan bahasa Arab.
Tugas
awal Trisno sebagai TKI di Arab Saudi adalah bekerja sebagai sopir di
kantor gubernur Kota Tabuk. Karena ketidakmampuan berbahasa asing, ia
suka dikerjai majikan dan teman-teman sopirnya yang berasal dari negara
lain. Ia juga sering menjadi pesuruh yang mengurusi kebun. Padahal, itu
bukan bagian dari kontrak kerja sebagai sopir.
Sebagai sopir,
Trisno digaji 800 real atau setara dengan Rp 400.000 kala itu. Setelah
setahun bekerja di kantor gubernur, lantaran ketidakcocokan dengan
majikan, ia diberhentikan dari pekerjaannya dan disuruh pulang ke
Indonesia dengan biaya sendiri. Karena tidak punya uang, ia memilih
tetap bertahan di Arab.
Beruntung ada seseorang yang menawarinya sebagai pegawai di toko perabot milik orang Sudan. Trisno digaji 1.350
real. Ia suka bekerja di tempat itu karena majikannya sangat baik. Jam
kerjanya pasti antara pukul 07.00 hingga lepas maghrib. “Di toko perabot
ini saya belajar menghafal dan menata barang, selain pengelolaan toko,”
tuturnya.
Selepas maghrib, Trisno bekerja sebagai pemasok produk
pangan asal Indonesia untuk toko sembako milik orang Thailand. “Awalnya,
saya iseng saja ngobrol dengan orang Thailand soal bisnisnya. Saya pun
memberanikan diri menjadi pemasok barang dari Indonesia,” ujarnya. Yang
dia pasok berupa cabai, petai, jahe, dan beberapa bumbu lain.
Sejak
1993 hingga 2000, Trisno mengaku sering bolak-balik Indonesia-Saudi.
Dia juga mengaku sempat memboyong keluarganya tinggal di Saudi. Pada
suatu malam, ketika tertidur di ruko keramik milik majikannya, Trisno
bermimpi.
“Saya mimpi menjadi pemilik toko seperti majikan saya,” kenang Trisno.
Ketika terjaga, dia langsung yakin bahwa mimpi tadi adalah ilham yang diberikan Allah.
Dia juga yakin bahwa mimpi tadi adalah jalan Allah untuk mengubah
nasibnya dari TKI menjadi pemilik toko. Akhirnya, berbekal tabungannya,
pada 1998 Trisno membeli sebidang tanah di Kademangan, Blitar, Jawa
Timur. Setahun kemudian, di atas sebidang tanah itu Trisno membangun
fondasi toko berukuran 8 x 14 meter.
Sampai
tahun 1999, Trisno masih bekerja dobel. Hasilnya, dia bisa mengantongi
tabungan sebesar Rp 20 juta kala itu. “Tahun 1998, kurs dollar sedang
tinggi,” ceritanya. Alhasil, tahun 1999, istrinya minta pulang ke
Indonesia karena sudah saatnya anak pertamanya sekolah.
Sebagian
uang hasil tabungannya dipakai untuk membeli sebidang tanah di kampung
halaman, Kademangan, Blitar. “Kebetulan, saya mendapat tempat di dekat
pasar. Saya memutuskan membuka toko sembako dengan nama Sari-Sari
Swalayan,” katanya.
Kala itu, per hari, gerainya bisa menghasilkan omzet Rp 2 juta. Swalayan Trisno juga menjadi idola di Kademangan.Trisno
semakin mengembangkan bisnisnya lantaran kondisi terdesak. Setelah dua
tahun usahanya berjalan, ada jaringan swalayan yang lebih besar dan
sudah memiliki banyak cabang berencana membuka cabang baru di
Kademangan. “Saya terpacu untuk memperbesar gerai. Untung saja, pemilik
rumah yang berimpit dengan swalayan saya menawari untuk membeli
rumahnya,” kenangnya.
Alhasil, sebelum swalayan pesaing itu
membuka gerai di Kademangan, Sari-Sari Swalayan sudah lebih dulu
memperbesar bisnisnya sehingga bisa menyaingi swalayan yang akan buka.
Bukan hanya memperluas lokasi, ia juga membuka cabang di tempat lain.
Trisno
bersyukur dengan datangnya pesaing di bisnis swalayan. ”Kalau tidak ada
pesaing, mungkin saya tidak terpikir membuat cabang,” katanya.
Terbukti, saat jaringan minimarket dengan sistem waralaba mulai masuk,
bisnisnya ikut terdongkrak.
Trisno
punya strategi, harga barang di minimarket waralaba sudah diatur oleh
pusat. “Karena saya sudah tahu harga pasokannya dan bisa mengatur harga
jual, saya leluasa memainkan harga. Dari situ, konsumen akan memilih
yang lebih murah,” katanya.
Awalnya, supermarket ini hanya
dikelola seorang diri oleh Trisno, kemudian terus bertambah hingga
sekarang yang telah memiliki 7 supermarket yang tersebar di wilayah
Blitar dan Tulung Agung, Jawa Tengah. Tenaga kerja yang dipekerjakan pun
meningkat. Saat ini sudah mencapai 50 orang dengan upah yang diberikan
sesuai UMR yang ada di daerahnya. Untuk tenaga kerja yang sudah lama
bekerja dan telah menjadi orang kepercayaanya, Trisno memberi upah
antara Rp 2 juta hingga Rp 5 juta.
Trisno bilang, saat ini, dia
akan memaksimalkan ketujuh gerainya. Meski begitu, dia juga berencana
untuk menjajal bidang usaha yang lain. “Mulai tahun ini, saya ingin
berbisnis fesyen,” ujarnya.
Tidak ada komentar