Muharram merupakan
bulan yang sangat berpengaruh pada sejarah kehidupan umat Islam. Suatu
bulan yang menjadi pembuka tahun dalam kalender Islam, Hijriyah. Suatu
bulan yang penuh barokah dan rahmah, karena bermula dari bulan inilah
–menurut dunia Islam- berlakunya segala kejadian alam ini. Bulan
Muharram juga termasuk salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah
dalam al Qur’an (Al Taubah: 36).
Sehingga dapat di simpulkan bahwa bulan Muharam merupakan
bulan yang menyimpan banyak sejarah kehidupan umat. Di mana pada bulan
itu Allah SWT banyak menurunkan peristiwa yang patut dikenang bagi umat
sebagai rasa syukur atas kenikmatan yang diberikan, karena
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan tersebut dapat memberikan
banyak inspirasi bagi kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini.
Terkadang timbul
pertanyaan dalam benak kita, kenapa penetapan awal tahun dalam Islam
berdasarkan hijrah Rasul Muhammad saw? Apakah karena dalam hijrah tadi
terdapat sesuatu yang sangat urgen untuk dikenang? Bukankah selain
hijrah masih ada beberapa peristiwa yang tidak kalah pentingnya dengan
hijrah tadi? Seperti kelahiran atau wafat Rasul saw, peristiwa awal
penerimaan wahyu, peristiwa Isra’ & Mi’raj yang mendatangkan
perintah shalat wajib lima waktu, di mana hal itu merupakan tonggak atau
tiang agama (Ashsholatu ‘imaduddin). Pun tak kalah pentingnya peristiwa
penaklukan kota Mekah yang menjadi pusat persatuan dan kesatuan umat
Islam, dan masih banyak lagi beberapa peristiwa lainnya yang berpengaruh
pada eksistensi Islam di muka bumi ini. Namun, kenapa harus bersandar
pada hijrah Rasul Muhammad saw kalender Islam itu ditetapkan?
Tradisi penanggalan Hijriyah dirintis
pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab RA. Pada waktu itu muncul wacana
diperlukannya penanggalan yang baku dan seragam untuk berbagai urusan
kenegaraan dan kemasyarakatan. Kemudian, muncullah berbagai usulan dari
para Sahabat. Pada akhirnya disepakati bahwa peristiwa hijrah Nabi SAW,
dari Makkah menuju Madinah dijadikan patokan dalam perhitungan awal
tahun kelender Islam.
Khalifah Umar bin
Khattab (13-23 H/634-644 M) pernah menerima surat dari Gubernurnya di
Bashra Abu Musa Al Asy’ari yang menyebutkan pada awal suratnya berbunyi:
“……menjawab surat Tuan yang tidak tertanggal…..”. Perkataan pendek yang
tampaknya tidak begitu penting telah menarik perhatian Khalifah Umar,
yaitu perlunya umat Islam mempunyai penanggalan yang pasti. Hingga
akhirnya diadakan musyawarah khusus untuk menentukan kapan awal tahun
baru Islam.
Saat musyawarah yang dihadiri oleh para
tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat itu, muncul beberapa usulan
untuk menentukan kapan dimulainya tahun baru Islam. Di antara usulan
tersebut terdapat pendapat yang mengatakan penanggalan Islam dihitung
dari peristiwa penyerangan Abrahah terhadap Ka’bah, yang dikenal dengan
sebutan “Amul Fiil” (tahun Gajah) dan itu sudah sering dipakai. Ada yang
menyarankan penanggalan Islam dihitung dari turunnya wahyu pertama
kepada Rasulullah SAW, di mana waktu itu beliau secara resmi dilantik
oleh Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul untuk seluruh umat. Ada juga yang
mengusulkan penanggalan Islam dihitung dari wafatnya Rasululah saw,
dengan alasan pada waktu itu diturunkan wahyu terakhir yang menegaskan
bahwa Islam sebagai agama yang sempurna. Dan ada pula yang berpendapat
bahwa penanggalan Islam dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah
ke Madinah, dengan alasan karena peristiwa itu merupakan pintu masuk
kehidupan baru bagi Rasulullah SAW dan umatnya dari dunia kemusyrikan
menuju dunia tauhid (Islam).
Setelah lama musyawarah bersama dengan
berbagai pendapat dan argumentasi masing-masing, akhirnya disepakati
bahwa usulan terakhir itu yang diterima (penanggalan Islam dihitung dari
hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah), yang kemudian diumumkan
oleh khalifah bahwa tahun baru Islam dimulai dari Hijrah Rasulullah Ssw
dari Makkah ke Madinah.
Menariknya, meskipun awal bulan Muharram
merupakan awal tahun bagi tahun Hijriyah, ternyata Muharram bukan awal
permulaan hijrah Nabi SAW. Soalnya hijrah beliau jatuh pada permulaan
bulan R. Awwal tahun ke-13 kenabian (14 Sept 622 M), bukan pada awal
Muharram. Sedangkan antara permulaan hijrah Nabi Saw dan permulaan
kalender Islam (Muharram) sesungguhnya terdapat jarak sekitar antara
62-64 hari, dan antara keduanya terdapat bulan Shafar.
Dalam kitab tarikh Ibnu Hisyam
dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah
pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan R. Awal.
Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian orang. Adapun penetapan Bulan Muharram sebagai
awal tahun baru dalam kalender Hijriyah adalah hasil musyawarah para
sahabat nabi SAW pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra saat
mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang mengusulkan R.
Awal sebagai awal tahun dan ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan.
Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan Muharram, dengan
pertimbangan bahwa pada bulan itu telah bulat keputusan Rasulullah saw
untuk hijrah ke Madinah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah (ikrar penduduk
Madinah yang datang ke Mekah untuk masuk Islam). Di mana saat ada 75
orang Madinah yang ikut baiat untuk siap membela dan melindungi
Rasulullah SAW, jika beliau datang ke Madinah di kemudian hari. Dengan
adanya bai’at ini, Rasulullah SAW pun melakukan persiapan untuk hijrah,
dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut dari
orang-orang Quraisy senantiasa mengintai beliau.
Betapa besar dan berat perjuangan Rasul
SAW waktu itu hingga setiap datang tanggal 1 Muharram, ingatan kita
terlukis kembali pada puncak perjuangan beliau SAW 14 abad silam. Suatu
perjuangan untuk membebaskan kaum muslimin dari kezaliman dan tindakan
sewenang-wenang yang menimpa mereka dikarenakan tindakan orang-orang
kafir tersebut semakin hari semakin meningkat pada taraf yang sangat
membahayakan masa depan Islam dan kaum muslim. Dengan izin Allah SWT,
Rasulullah SAW beserta para sahabatnya yang setia, akhirnya meninggalkan
tanah kelahirannya yang tercinta Makkah Al-Mukarramah untuk pindah ke
negeri yang baru yaitu Yastrib (Madinah). Perpindahan beliau dari Makkah
ke Yastrib inilah yang disebut “hijrah”, dan oleh Khalifah
Umar bin Khattab dijadikan momentum dan starting point, pangkal tolok
perjalanan sejarah Islam, dengan ucapannya: “Hijrah itu memisahkan antara yang hak dengan yang batil, karena itu jadikanlah catatan sejarah”.
Sementara dalam bulan Muharram, lebih-lebih tanggal 10 Muharram, yang disebut ‘Asyura, atau bulan Suro (sebutan Jawa)
banyak menitiskan peristiwa bersejarah pada kita, kususnya apa yang
pernah dialami oleh para Nabi dan Rasul Allah. Di mana pada hari itu
merupakan “hari pertolongan” bagi para Nabi. Dalam sejarahnya, pada hari itu terdapat
beberapa peristiwa besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah
eksistensi agama Tauhid (Islam), antaranya:
- Nabi Adam bertaubat kepada Allah dan dipertemukan dengan isterinya, Siti Hawa di Padang Arafah (Jabal Rahmah).
- Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit.
- Nabi Nuh diselamatkan Allah SWT dari perahunya setelah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.
- Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud.
- Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.
- Penglihatan Nabi Ya’kub yang kabur dipulihkan Allah kembali.
- Nabi Ayub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya.
- Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
- Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
- Nabi Musa AS menyeberangi laut merah menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun.
- Nabi Sulaiman dikaruniai Allah kerajaan yang besar.
- Nabi Ayub sembuh dari sakitnya yang kronis.
- Nabi Muhammad SAW lepas dari racun orang-orang Yahudi.
- Terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, Husain Ibn Aly ra. di bukit Karbala.
Pada tanggal ini pula, ummat Islam zaman
dahulu diwajibkan berpuasa sebelum adanya perintah wajib puasa
Ramadhan. Namun setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, maka puasa
pada tanggal 10 Muharram menjadi sunnah. Sebagaimana dalam satu riwayat
disebutkan bahwa: “Rasulullah menyuruh kita berpuasa Asyura pada tanggal
10 Muharram”. (HR Tirmidzi).
Kemudian di hadits lain Rasulullah SAW meringankan puasa ‘Asyura menjadi sunnah dengan sabdanya: “Barangsiapa yang ingin puasa Asyura, maka berpuasalah dan barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, silakan meninggalkannya”.
(Al-Hadits). Karena peristiwa bersejarah yang cukup banyak terjadi pada
10 Muharram ini, maka tanggal ini dianggap sebagai tanggal yang
penting. begitulah kurang lebihnya sejarah singkat atau histori dari di tentukanya hari raya atau hari tahun baru islam
Tidak ada komentar