cara cepat belajar membaca alqur'an

"BELAJAR AL-QUR'AN SULIT” 
APA PENYEBABNYA !!! 
Oleh: Dr. H. Fuad Thohari, MA


Meragukan Otentisitas Al-Qur'an

        Problematika mendasar  tidak adanya  sinkronisasi antara kemampuan umat Islam membaca Al-Qur'an  dengan pemahaman dan pengamalannya, bisa jadi karena mereka masih skeptis terhadap otentisitas Al-Qur'an. Semenjak 14 abad lalu, Allah menantang siapa saja yang merasa skeptis terhadap otentisitas Al-Qur'an, atau  menganggapnya bukan wahyu tetapi buatan Nabi Muhammad saw yang ummi. Tantangan itu diajukan  tiga kali selama periode Makah; mulai tantangan membuat semisal Al-Qur'an  (Q.S. At-Thur, 52:33-34), 10 surat (Hud, 11:13), dan terakhir hanya    satu (1) surat terpendek (Yunus, 10:38). Setelah Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah, tantangan itu diajukan kembali (Al-Baqarah, 2:23). Ternyata tidak satupun yang sanggup memenuhi tantangan, padahal saat itu banyak sastrawan handal.

           Memang, keseluruhan Al-Qur'an merupakan mukjizat Allah. Tidak satupun informasi, statemen,  dan komentarnya yang menyimpang dari fakta sosiologis-historis, medis, maupun seintifik. Belum lagi keindahan dan keseimbangan redaksinya yang begitu mengagumkan.
Dari segi sosiologis-historis, otentisitas informasi Al-Qur'an pernah diuji dengan memberikan informasi mendahului zamannya. Yakni  ketika terjadi perang dua negara adi kuasa pada tahun 614 M, antara  Persia --penyembah api--  versus Rumawi yang beragama Nasrani, dan berakhir tragis dengan kemenangan Persia.  Ketika itu kaum musyrik Makah mengejek umat Islam yang cenderung mengharapkan kemenangan Rumawi karena sama-sama beragama samawi. Kekecewaan umat Islam bertambah dengan ejekan itu.  Tidak lama kemudian turunlah  surat Ar-Rum, 30:1-5 menghibur umat Islam dengan menginformasikan dua hal.  Pertama, dalam  jeda 3-9 tahun kemudian –diredaksikan Al-Qur’an; bidh’i sinin— perang akan terulang dan dimenangkan Rumawi;  kedua, saat kemengan itu umat Islam akan bergembira --bukan saja karena kemenangan Rumawi— tetapi kemenangan yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Di sinilah otentisitas informasi Al-Qur'an  diuji dan terbukti akurat dengan menetapkan angka pasti kemenangan   Romawi   di saat kekalahannya, 8 tahun berikutnya tepatnya 622 M. Suatu hal yang absurd dan tidak mungkin diinformasikan kecuali atas kuasa Allah yang maha mengetahui. Apa yang terjadi jika dalam jeda 3-9 tahun tidak ada peperangan, atau terjadi perang dan Romawi kalah lagi? Pasti sejak hari itu  Al-Qur'an  dicampakkan, karena validitas informasinya dianggap tidak akurat.
Di bidang medis misalnya, bagaimana Al-Qur'an menginformasikan  tahap penciptaan manusia begitu  detail, Q.S. Al-Mukminun, 23:12-14) sbb.:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Prof. E. Keith Moore --ilmuan terkemuka di bidang anatomi dan embriologi, penerima Grant Award (JCB) tahun 1984 di bidang anatomi, dan Dekan luar biasa                 di Universitas Toronto  Kanada--  heran dan kagum luar biasa, bagaimana Nabi Muhammad saw. 14 abad lalu dapat menerangkan  embrio dan fase perkembangannya begitu detail dan akurat, padahal ilmuan baru mengetahuinya 30 tahun lalu? Informasi  ini  pasti sampai kepada Nabi Muhammad saw. dari Allah, karena hampir semua pengetahuan tersebut   belum diketahui sampai berabad-abad sesudahnya. Pendapat senada dikemukakan Dr.G.C. Goeringer, profesor embriologi medis universitas  Georgetown, Washington D.C.. Dan masih banyak lagi temuan ilmiah kontemporer yang terbukti tidak berseberangan dengan Al-Qur'an.  (Lihat, Thi Is The TruthCompiled By Dr. A.M. Rehaili, p. 13-24).
Tidak kalah menariknya, keserasian dan keindahan redaksi Al-Qur'an bisa dilacak secara  sistematis dengan perangkat komputer. Rasyad Khalifah, Ph.D. (alm.)     --imam masjid Tucson Amerika dan  pakar Biokimia dari Arizona-- adalah penemu rahasia keteraturan bilangan dalam Al-Qur'an ketika akan menterjemahkannya  dalam bahasa Inggris tahun 1968. Berawal dari rasa penasaran  untuk menemukan makna  konkret setiap  penggalan inisial (ahruf al-muqattha’ah)  di awal 29 surat   Al-Qur'an. Pelacakan di mulai dari huruf: Qaf, Shad, dan Nun sampai akhirnya penelitian itu bermuara pada angka 19 sebagai common denominatort. Ilustrasinya, Basmalah terdiri 19 huruf, dan setiap penggalan katanya merupakan perkalian 19. Kata  ism terulang      19 (19 x 1), Allah disebut 2698 (19 x 142), rahman terulang 57  (19 x 3), rahim disebut 114 (19 x 6), dan masih ratusan fakta keajaiban lain. Mengapa angka 19 yang menjadi kunci? Tidak lain, tema sentral  Al-Qur'an  adalah keesaan Allah, wahid. Kalau rahasia angka 19 ini dikembalikan kepada  huruf arab yang dipakai untuk menunjukkan bilangan  (sebelum mereka memakai  angka arab yang dikenal dalam ilmu hitung sekarang dengan rumus: huruf alif = angka 1,  ba’ = 2,  jim = 3, dal = 4,  ha’ = 5,        wau =  6, zai = 7,  ha’ = 8,  tha = 9,  ya’ = 10, kaf = 11, dst.),  ternyata angka 19 ditulis dengan rangkain akronim  wahid (harf  wau = angka 6, alif= 1, ha’= 8. dan dal= 4).  Dengan demikian, misteri angka 19  dalam Al-Qur'an  yang baru diketemukan dengan komputer itu  berarti  wahid,  keesaan Allah swt.
Temuan  rahasia angka 19 dalam Al-Qur'an  ini telah dipublikasikan dalam majalah Scientific American bulan September 1980 dan dalam bukunya, The Computer Speaks: God’s Message to the World (1981) dan  Qur’an: Visual Presentation of the Miracle (1982).
Selain itu, Abd. al-Razaq Naufal mendapatkan temuan lain kaitannya dengan keseimbangan  redaksi Al-Qur'an, antara lain; a) keseimbangan kuantitas kata dengan antonimnya, b) keseimbangan kuantitas kata dengan sinonim atau makna yang dikandungnya, c) keseimbangan kuantitas kata dengan kata yang menunjuk akibatnya, dll. Ilustrasinya, lihat Tabel I berikut.
Tabel I

ILUSTRASI KESEIMBANGAN  REDAKSI AL-QUR'AN
a. Kata vs Antonimnya b. Kata vs Sinonimnya c. Kata vs Kata Akibatnya
No.
Kata
Antonim
Jml
Kata
Sinonim
Jml
Sebab
Akibat
Jml
1. Al-Hayat
Hidup
Al-Maut
Mati
145
Al-Harts
Bajak
Az-Zira’ah
Bertani
14
Al-Harb
Perang
Al-Asra
Tawanan
6
2. An-Naf’u
Manfaat
Al-Fasad
Kerusakan
50
Al-‘Aqlu
Akal
An-Nur
Cahaya
49
Al-Lisan
Mulut
Al-Mau’idlah
Petuah
25
3. As-Shalihat
Kebajikan
As-Sayyiat
Keburukan
167
Al-jahru
Nyata
Al-‘Alaniah
Nyata
16
Az-Zakat
Zakat
Al-Barakah
Berkah
32
4. Al-Iman
Iman
Al-Kufru
Kufur
17
Al-Malakut
Malaikat
Ruh  Qudus
Ruh Qudus
4
Al-Kafirun
Ingkar
An-Nar
Neraka
154
5. Ad-Dunya
Dunia
Al-Akhirat
Akhirat
115
As-Syajar
Pohon
An-Nabat
Tumbuhan
26
Al-Bukhl
Kikir
Al-Hasrah
Rugi
12
6. Rajul
Laki-laki
Imra’ah
Wanita
24
Al-Bir
Baik
Al-Tsawab
Pahala
20
At-Thayibat
Baik
As-Salam
Damai
50
7. Al-Har
Panas
Al-Bard
Dingin
4
As-sihru
Sihir
Al-fitnah
Cobaan
60
Al-Infaq
Infaq
Al-Ridla
Rela
73

Di samping itu, ada keseimbangan khusus lainnya dalam Al-Qur'an, misalnya:  kata   as-sa’ah yang didahului harf disebut 24 kali, sebanyak hitungan jam dalam sehari-semalam; kata yaum (singular) terulang 365 kali, persis jumlah hari dalam tahun syamsiah;  kata yaumani (tatsniah / double) dan ayam (jama’ / plural)  disebut 30 kali, sejumlah hari dalam satu bulan;  kata syahrun terulang dua belas kali persis jumlah bulan dalam setahun,  dsb. Temuan Naufal ini telah dipublikasikan dalam karyanya,     Al-I’jaz al-‘Adadi  li Al-Qur'an al-Karim (Kemukjizatan dari Segi Bilangan dalam      Al-Qur'an) terdiri 3 jilid.
Walaupun masih menyisakan polemik, antara pro dan kontra, temuan investigasi Rasyad Khalifah dan Abd. Razaq Naufal ini tentu bukan kebetulan semata dan bahkan semakin mengukuhkan  bukti otentisitas Al-Qur'an  yang validitasnya dijamin  Allah sampai akhir nanti, sebagaimana dinyatakan  dalam surat   Al-Hijr, 15:9; sbb.:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
Persepsi  Bahasa Arab Sulit
Problematika  ke dua penyebab tidak adanya  sinkronisasi antara kemampuan umat Islam membaca Al-Qur'an  dengan kualitas pemahamannya, bisa jadi karena persepsi mereka, “Bahasa Arab sulit dipelajari, demikian halnya mangkaji Al-Qur'an  yang berbahasa Arab”
Dalam konteks keindonesiaan, dalih semacam ini bisa jadi benar karena mereka dilahirkan dengan latar  budaya, etnis, dan bahasa ibu yang berbeda. Sejak lahir sampai usia sekolah, umumnya mereka lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa daerahnya. Misalnya, saudara kita yang lahir di Aceh, berkomunikasi dengan bahasa Aceh; dari Sulawesi  berbahasa Makasar; dari Kalimantan berbahasa Banjar; dari Jawa berbahasa Jawa, dan begitu seterusnya. Di bangku sekolah dan  dalam transaksi publik lainnya, tentu saja bahasa Indonesia yang dominan dijadikan sebagai bahasa pengantar. Bahasa Arab hanya digunakan kelompok minoritas; kaum santri dan elitis mahasiswa                 di  fakultas tertentu. Jadilah bahasa Arab sebagai barang langka dan hanya menjadi media komunikasi  kelompok kecil, sehingga timbul persepsi: bahasa Arab sulit.
Hanya perlu diingat, Allah menurunkan Al-Qur'an berbahasa Arab sebagai kitab petunjuk  agar dipahami (Q.S. Yusuf,12:2; Az-Zukhruf, 43:3). Dengan nada serius Allah  menjamin   Al-Qur'an   mudah  dikaji  tanpa  diskriminatif.  Semua  orang tanpa pandang
suku, ras, dan bahasa pasti bisa menyerap  Al-Qur'an. Hal ini sudah diperhitungkan Allah, sebagaimana dinyatakan empat (4)  kali dalam firmannya (Q.S. Al-Qomar, 54:17, 22, 32,  40) sbb.:
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran”?
Sekali lagi, kemudahan yang dijanjikan Allah swt. tidak diskriminatif; diberikan kepada siapapun dan di manapun. Pada dasarnya, makhluk yang bernama manusia  pasti mampu berbahasa Arab. Sebab pedoman dan juklak  hidupnya adalah Al-Qur'an  yang berbahasa Arab, bukan kitab lain (Q.S. Al-Baqarah, 2:185). Pertanyaannya, mau nggak mengkaji  Al-Qur'an, fahal min muddakir?

Melecehkan Al-Qur'an?
Alternatif ke tiga penyebab tidak adanya  sinkronisasi antara kemampuan umat Islam membaca Al-Qur'an  dengan kualitas pemahamannya, mungkin karena alasan tidak ada waktu atau tidak sempat karena seabrek kesibukannya. Inilah alasan klasik yang seringkali dilontarkan  oknum pejabat, pengusaha, birokrat, dsb.
Kalau ada yang mengklaim tidak ada waktu untuk mengkaji Al-Qur'an, tidak sempat, dan waktu sudah habis untuk bekerja, padahal sebelum makan pagi sudah khatam membaca setumpuk koran, tengah hari masih sempat melihat telenovela, sorenya melalap habis beberapa judul komik,  habis maghrib nongkrong di depan TV sampai larurt malam, bahkan siaran langsung pertandingan bola menjelang subuhpun ditunggu. Itu artinya terang-terangan mengingkari nikmat Allah.  Bagaimana tidak,  mengapa giliran  Al-Qur'an yang sejak lahir diklaim sebagai juklak kehidupannya  malah tidak  disentuh, dibaca, dikaji, dan disepelekan sedemikian rupa? Ini sama saja  melecehkan  Al-Qur'an dan tanpa sadar telah menyulut api azab dan sanksi dunia-akhirat: pertama, diberikan kehidupan yang sempit; rizki dicabut, hati menjadi ciut; stres, tidak tentram, dsb., dan kedua, di akhirat nanti digiring dalam kondisi  buta (Q.S. Thoha, 20:124-126).

Menakar Kajian  Al-Qur'an:  Tawaran Metode Efektif
Dewasa ini fenomena religiositas masyarakat Indonesia semakin mengemuka. Kajian Al-Qur'an   tidak sekedar menarik perhatian akademisi atau elitis tertentu, tetapi juga menyita perhatian masyarakat awam (populis) yang akhir-akhir ini merasa terbelenggu pelbagai kecenderungan materialisme dan nihilisme modern. Mereka membutuhkan siraman  Al-Qur'an yang bisa memuaskan akal budinya, menentramkan jiwanya, memulihkan kepercayaan dirinya yang nyaris punah  akibat dorongan kehidupan materialistis dalam pelbagai konflik idiologis.
Dalam realitasnya, banyak metode mengkaji Al-Qur'an  yang ditawarkan, mulai metode: Iqra’, Al-Barqi, Buraq, Qiraati, dll. Bagi  pemula, metode di atas  cukup mudah dan  teruji efektifitasnya terutama untuk target lancar membaca Al-Qur'an.
Hanya saja, rasa-rasanya fenomena antusiasme masyarakat tersebut perlu ditingkatkan; dari sekedar mengejar target  lancar membaca Al-Qur'an ke arah substansi pemahaman yang baik dan memadai. Karena komitmen untuk merealisasikan ajaran Al-Qur'an   dalam perilaku keseharian  sulit (baca: mustahil) terwujud tanpa itu. Ada beberapa lembaga Islam yang menawarkan  program pemahaman Al-Qur'an yang terbukti efektif dan efisien, misalnya: Terjemah  Al-Qur'an  Sistem 40 Jam Masjid Istiqlal Jakarta, Sistem Granada, dsb.
Peringatan Nuzul Al-Qur'an tahun 1430 H.  kali ini jangan sekedar seremonial kosong, tetapi harus dijadikan   komitmen  bersama untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas bacaan Al-Qur'an, pemahaman, dan merealisasikannya dalam perilaku  keseharian, baik sebagai individu, bermasyarakat, maupun bernegara.

Tidak ada komentar